Kaleidoskop Media 2025: Dewan Pers Ingatkan Ancaman Algoritma dan Krisis dari Dalam Pers

Kaleidoskop Media 2025: Dewan Pers Ingatkan Ancaman Algoritma dan Krisis dari Dalam Pers.

Di tengah usia kebebasan pers yang kian matang, pers Indonesia justru menghadapi ancaman baru yang tak kasatmata. Bukan lagi semata tekanan kekuasaan, melainkan jebakan algoritma digital serta krisis idealisme yang tumbuh dari dalam tubuh pers itu sendiri.

Isu tersebut mengemuka dalam dialog Kaleidoskop Media Massa 2025 bertema Kebebasan, Keberlanjutan, dan Tantangan Supremasi Algoritma yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan ditayangkan melalui podcast Akbar Faizal Uncensored di Hall Dewan Pers, Jakarta, Selasa (23/12/2025).

Wakil Ketua Dewan Pers, Totok Suryanto, menyampaikan refleksi kritis mengenai kondisi pers nasional. Menurutnya, istilah “tantangan” tak lagi cukup untuk menggambarkan situasi saat ini, karena pers sudah berada dalam posisi terancam, baik dari faktor eksternal maupun internal.

“Pers hari ini bukan hanya tertantang, tetapi juga terancam. Yang mengancam bukan cuma dari luar, melainkan juga dari dalam pers itu sendiri,” tegas Totok.

Berbekal pengalaman lebih dari tiga dekade sebagai wartawan sejak era 1990-an, Totok membandingkan lanskap pers masa lalu dengan kondisi saat ini. Pada masa kejayaan media cetak, tantangan utama hanya soal sirkulasi. Saat televisi berkembang, persaingan pun masih terukur antarprogram berita.

Begitu pula pada awal kemunculan media daring, ketika jumlah media online masih terbatas dan mekanisme verifikasi Dewan Pers belum seketat sekarang. “Tantangannya masih rasional dan bisa dihadapi,” ujarnya.

Namun, situasi berubah drastis di era algoritma. Kecepatan yang dulu menjadi keunggulan utama pers kini kehilangan makna. Media sosial mampu menyebarkan informasi secara instan, bahkan tanpa proses verifikasi.

Kondisi ini, menurut Totok, memunculkan kegelisahan mendasar di kalangan insan pers: apakah pers masih relevan dan dibutuhkan publik? Apakah masyarakat masih menunggu karya jurnalistik setiap hari?

Ia menilai, ancaman terbesar terhadap kebebasan pers justru lahir dari internal. Jika dahulu pers kerap dibatasi oleh kepentingan pemilik modal atau kekuasaan, kini pers sering kali memilih membatasi dirinya sendiri.

“Dulu orang bertanya, media ini punya siapa. Sekarang tantangannya berbeda. Algoritma menekan media secara bisnis, lalu diperparah oleh perubahan roh pers itu sendiri,” ungkapnya.

Totok juga mengkritik kecenderungan media yang bergeser dari fungsi jurnalistik menjadi alat public relations. Demi bertahan hidup, idealisme pers perlahan dikorbankan, bahkan ditampilkan ke publik tanpa rasa bersalah.

“Kalau roh pers dimatikan dari dalam oleh pelaku pers sendiri, itu jauh lebih berbahaya dibanding tekanan dari luar,” katanya.

Ia mengingatkan agar media tidak terjebak dalam euforia kedekatan dengan kekuasaan. Memberi ruang bagi pernyataan pejabat memang sah, namun pers harus tetap mengedepankan kepentingan publik.

“Mahkota pers itu adalah kepercayaan publik. Ketika pers mengkritik pemerintah, itu bukan permusuhan, melainkan bentuk pengabdian,” tegas Totok.

Dalam konteks keberlanjutan, Totok menilai persoalan utama bukan semata kemampuan media bertahan secara ekonomi, melainkan menjaga identitas sebagai pers. Bertahan hidup tidak boleh dibayar dengan menghilangkan fungsi jurnalistik.

Ia juga menyoroti media sosial sebagai tantangan serius. Menurutnya, media arus utama masih memiliki keunggulan karena media sosial belum sepenuhnya tunduk pada kode etik jurnalistik.

“Andaikan media sosial menerapkan 11 poin kode etik jurnalistik, menjalankan uji informasi dan keberimbangan, maka tantangan pers akan jauh lebih berat,” ujarnya.

Sementara itu, supremasi algoritma disebut sebagai bentuk dominasi baru yang mendikte selera publik dan arah pemberitaan. Media tidak lagi sepenuhnya berdaulat atas kontennya sendiri.

“Tantangan pers kita hari ini sangat berat. Jika tidak berhati-hati, pers yang kuat dan bersejarah ini bisa tinggal cerita,” pungkasnya.

Dialog Kaleidoskop Media Massa 2025 turut dihadiri Pelaksana Tugas Direktur Ekosistem Media pada Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital Farida Dewi Maharani, Anggota Dewan Pers Rosarita Niken Widiastuti, Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir, Anggota Dewan Pakar PWI Pusat Effendi Ghazali dan Sujiwo Tedjo, serta sejumlah pemimpin redaksi dan insan pers dari berbagai media. (rls)

Exit mobile version