Baha’i dan Agama-Agama Baru

Oleh Dr Moch Iqbal

Dosen Fak UAD IAIN Bengkulu

Ucapan selamat pada perayaan Naw-Ruz 178 EB kepada umat Baha’i oleh menteri agama Yaqut Cholil Qoumas mendapat banyak kecaman sekaligus apresiasi dari berbagai kalangan. Kecaman karena Baha’i mempunyai kemiripan dengan Islam, yang dikhawatirkan akan membingungkan umat mayoritas Islam di Indonesia. Sedangkan mengapresiasi karena pemerintah yang diwakili oleh mentri agama sudah melakukan kerja yang benar, yaitu melindungi warga Negara dalam memeluk dan menjalankan agama dan keyakinanya masing-masing.

Polemik semacam ini juga pernah terjadi di masa menteri Lukman Syaifudin (2015) yang akan mengakomodir Baha’i sebagai agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Respon organisasi agama mainstream semacam MUI menolak dengan tegas wacana peresmian Baha’i sebagai agama baru di Indonesia (RB, 7/1/15). Boleh jadi tidak hanya MUI, kelompok organisasi agama maintream lainya juga ingin memfalsifikasi secara sosiologis maupun teologis. Alasanya klasik, agama atau aliran baru semacam Baha’i dianggap akan mengganggu ketentraman kelompok mayoritas yang sudah mapan. Secara pribadi, sebenarnya penulis juga masih setengah percaya, bahwa pemerintah akan mengakui Baha’i sebagai agama baru, selain enam yang sudah ada selama ini an diakui menjadi agama  negara. Meski Kanwil Provinsi Bengkulu (RB, 27/12/14) menkonfirmasi keberadaan kelompok Baha’i, seperti di Kota dan di Bengkulu Tengah, tidak mudah bagi kepercayaan atau agama baru untuk mendapat kepercayaan masyarakat. Terlebih lagi pengakuan oleh negara di tengah hegemoni kepercayaan agama mainstream (Islam Sunni).

Kepercayaan Baha’i, atau belakangan akan diakui sebagai agama baru, masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia pada umumnya. Karena kepercayaan ini tidak banyak bersinggungan dengan kelompok kepercayaan lain, semacam Islam, Kristen dan kepercayaan lainnya. Baha’i hanya sayup-sayup terdengan dalam teks-teks akademik penelitian yang tidak banyak diakses oleh masyarakat umum. Masalah keagamaan lebih banyak didominasi masalah gesekan-gesekan antara kelompok mainstream dan kelompok heresy (sempalan), semacam Ahmadiyah, Syiah, AKI (Aliran Keagungan Illahi) dan yang lainnya.

Aktifitas Baha’i juga nyaris tidak ada, atau tidak terdengar. Misalnya aktifitas ritual-peribadatan, seminar-seminar atau kongres, muktamar dan yang lainnya, sebagai indikasi eksistensi Baha’i. Jangan-jangan massa Baha’i adalah massa imajiner, massa hayal dan tidak nyata. Jangan-jangan agama Yahudi lebih banyak di Indonesia daripada Baha’i. Ada indikasi kuat, kementrian agama sekedar cari perhatian dan ingin memulihkan citra dengan mengakomodir kelompok pinggiran yang selama mendapat perlakuan yang kurang menyenagkan.

Agama Bukan Urusan Negara

Pada dasarnya tidak ada hak apapun  negara ikut campur tentang keyakinan warganya. Agama adalah wilayah yang paling privat terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhanya yang dimiliki oleh manuasia. Negara sebagai ‘in optima performa’ hanya berkewajiban mengatur dan menyediakan ruang yang seluas-luasnya dalam menjalankan kenyakinan dengan baik. Negara tidak berhak intervensi masalah ‘teste’ keyakinan/agama warga negaranya. Termasuk warganya yang akan memeluk Baha’i, Ahmadiyah, AKI  atau keyakinan lainnya di luar agama resmi negara.

Tentu tidak semua setuju terhadap pendapat yang demikian. Polemik relasi negara dan agama ini nyaris tanpa ujung. Selalu muncul polemik yang tidak berkesudahan. Terlebih lagi dalam khasanah pemikiran Islam klasik maupun modern, tidak dikenal secara tegas istilah ‘daulah islamiyah’/negara islam. Hingga sekarang tidak semua  kelompok sepakat peran negara sebatas ‘fasilitator dan stabilisator’ dalam urusan pelaksanaan menjalankan agama, sebagaimana yang dikenal di negara-negara sekuler. Indonesia sendiri, agama juga menjadi bagian dari negara itu sendiri.  Tidak ada pemisahan secara tegas antara agama dan negara. Warga negara diharuskan memeluk agama yang diperbolehkan negara. Sedangkan negara ‘hanya’ menyediakan ‘menu’ agama yang sangat terbatas. Menjadi persoalan kemudian adalah ketika agama yang disediakan negara tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual warganya. Seperti kelompok masyarakat yang memilih Ahmadiyah, Sunda Wiwitan, Baha’i, aliran kepercayaan dan kepercayaan lainnya di luar agama resmi negara.

Dapat dipsatikan bahwa para pemeluk diluar agama di luar yang diresmikan oleh negara, akan mendapatkan perlakuan tidak adil, baik dari lingkungan sosial mereka maupun oleh negara sendiri. Negara menjadi pemegang tunggal hak untuk menentukan tentang kelayakan agama-agama apa saja yang bisa dianut oleh warganya. Kemudian menjadi persoalan pelik ketika kepercayaan-kepercayaan berkembang dengan subur, seiring dengan terbukanya pasar ‘jual-beli’ gagasan maupun ideologi dan mendapat respon yang baik dari masyarakat yang kemudian memeluknya dari keyakinan-keyakinan baru tersebut.

Akibat Pasar Bebas Gagasan

Dalam kontek Indonesia, faktor yang paling kentara dari tumbuh suburnya agama-agama baru atau kelompok-kelompok heresy (kelompok sempalan) adalah tumbangnya diktatorisme. Pasca runtuhnya Orde Baru, kelompok-kelompok sosial keagamaan bermunculan seperti jamur pada musim hujan. Kelompok-kelompok sosial yang dulunya ditekan dan disudutkan pada ruang-ruang yang sangat terbatas,  tiba-tiba kebebasan terbuka lebar-lebar memberi kesempatan bagi aliran-aliran kepercayaan (agama baru) unjuk diri di tengah-tengah masyarakat.

Menguatnya kelompok radikalisme dan konservatisme juga turut mendorong tumbuh kembangnya aliran-aliran dan agama baru. Kemudahan interaksi ideologi transnasional menjadi benih-benih dinamika pasar bebas gagasan yang semakin beragam. Pandangan semacam ini sejalan dengan pandangan teoritisi semacam Gordon Melton (2007) sebagai ahli agama-agama minor, bahwa kemunculuan kelompok minor semacam Baha’i, boleh jadi terdapat semangat keluar dari hegemoni kelompok mainstream. Spiritualitas agama mainstream  tidak lagi memenuhi kebutuhan para ‘spiritual seeker’. Artinya dalam kontek ini, kelahiran agama dan aliran-aliran baru, tidak bisa dilepas dari  ‘faktor induk’ kelompok mainstream.

Paling tidak tidak ada ada beberapa sebab yang melatarbelakangi lahirnya berbagai gerakan sempalan dan agama-agama baru, Pertama, Kelompok mainstream tidak mampu mengakomodasi semua kelompok yang ada di masyarakat. Seringkali kelompok mayoritas sibuk dengan dirinya dan kelompoknya sendiri, dan mengabaikan kelompok-kelompok lain yang sangat kompleks. Misalnya, Muhammadiyah yang sibuk dengan amal usahanya yang massif, perguruan Tinggi, sekolah menengah, rumah sakit, panti asuhan dan kegiatan organisasi lainnya. Demikian juga NU (Nahdlotul Ulama) yang sibuk dengan pesantren, lembaga pendidikan dan sebagainya. Faktor kurang akomodatif ini memberi ruang bagi kelompok-kelompok JABLAY (Jarang dibelai) membentuk kelompok sendiri (jalan pinggiran), menunjukkan eksistensinya di tengah dominasi kelompok mainstream.

Kedua, Pengetahuan agama rendah, dan spirit keagamaan tinggi. Dalam beberapa kasus terkait kelompok pinggiran,  latar belakang pendidikan dan pengetahuan agama  para  anggotanya relatif rendah  dan bahkan sama sekali tidak mengerti dasar-dasar agama yang dianutnya, tetapi demikian kebutaan terhadap dasar-dasar agama ini diimbangi semangat keagamaan yang tinggi. Sebagian besar mereka sangat idealis dan sangat ingin mengabdi kepada agama dan masyarakat.Sebagai contoh Pada Mei 2005 Muhammad Yusman Roy (Gus Roy) pimpian ponpes I’tikaaf Ngadi Lelaku, Dasa Sumber Waras Timur, Malang, Jawa Timur, mengajarkan santrinya untuk shalat dalam dua bahasa. Bahasa Arab dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 2000-an, ada isu NII (Negara Islam Indonesia) yang banyak menyita perhatian. Gerakan ini menghalalkan segala cara untuk bisa mewujudkan cita-cita mewujudkan NII, termasuk mencuri, merampok atau mengambil harta dari keluarganya sendiri. Menariknya adalah, banyak anggota kelompok ini adalah para mahasiswa dari kampus-kampus ternama di Indonesia, seperti ITB, UI, IPB dan kampus lainnya.

Dalam kontek global, fenomena semacam ini juga ditemukan. Kekurangan wawasan, atau berada dalam situasi psikologis yang tidak normal, sebagai tampak dalam berbagai penelitian sosiologis mengenai masalah ini. Kenyataannya, dunia sudah menyaksikan munculnya kelompok-kelompok seperti People’s Temple yang mengajak pengikutnya bunuh diri beramai-ramai. Atau juga kelompok Aum Shinrikyo yang meng-gas orang-orang tak berdosa di stasiun bawah tanah Jepang.

Ketiga, terdapat sekat komunikasi antar kelompok masyarakat, atau antara kelompok mainstream dan pinggiran. Faktor ini banyak menjadi pemicu kesalah pahaman, yang kemudian berujung pada pertikaian dan konflik. Terlebih lagi apabila masing-masing pihak tidak bersedia membuka pintu komunikasi karena faktor arogansi mayoritas dan eksklusivisme pandangan.

Keempat, Integrasi yang longgar, meminjam istilah Durkheim. Aktifitas kaum urban yang padat seringkali abai terhadap persoalan di sekitarnya. Bila dalam masyarakat desa tradisional, setiap orang adalah anggota sebuah komunitas yang cukup intim, dengan kontrol sosial yang ketat tetapi juga dengan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Jaringan keluarga yang luas melibatkan setiap individu dalam sebuah sistem hak dan kewajiban yang  sampai batas tertentu  menjamin kesejahteraannya. Dalam masyarakat kota modern, sebaliknya, setiap orang berhubungan dengan jauh lebih banyak orang lain, tetapi hubungan ini sangat dangkal dan tidak mengandung tanggungjawab yang berarti. Komunitas, seperti di desa atau di keluarga besar, sudah tidak ada lagi, dan kehidupan telah menjadi lebih individualis. Itu berarti bahwa dari satu segi setiap orang lebih bebas; tetapi dari segi lain, tidak ada lagi perlindungan yang betul-betul memberikan jaminan. Dalam  keadaan seperti ini banyak orang merasa terisolir, dan merasa bahwa tak ada orang yang betul-betul bisa mereka percayai,  karena sistem kontrol sosial dengan segala sanksinya sudah tidak ada lagi, dan karena orang lain juga lebih mengutamakan kepentingan individual masing-masing. Pada giliranya, kelompok masyarakat akan mencari patron untuk kelangsungan hidup mereka.

Berkah  Agama Baru

Kalau mau dengan sedikit lapang dada, sebenarnya munculnya ‘agama-agama baru’ tidak melulu manakutkan, sehingga harus direspon berlebihan dan dengan cara-cara yang negatif.  Namun realitasnya tidak demikian, aliran-aliran baru  yang berusaha muncul selalu mendapat resistensi kuat dari kelompok tradisi agama mainstream. Misalnya dengan menempelkan stigma sesat pada aliran-aliran baru tersebut, sehingga layak untuk dimusuhi dan diberantas. Parahnya lagi negara tidak memposisikan diri sebagai penengah dan pelindung bagi semua kelompok, malah memperkeruh dan menyulut kekerasan. Memaksakan tafsir formal tertentu atas pemahaman keagamaan. Alih-alih memberi tempat bagi keragaman keyakinan, negara justru menjadi kekuatan penghancur aneka-ragam keyakinan.

Kendati kelompok jalan pinggiran terkesan menggangu atau bisa menjadi ‘benalu’ bagi bagi keagamaan kelompok ortodoksi, namun sebenarnya keberadaan sangat diperlukan. Pertama, sebagai kritik terhadap kelompok mainstream, ketika pola dan prilaku keagamaan yang stagnan, sehingga agama dinilai jumud dan tidak mampu memperbaruhi dirinya. Terlebih lagi kelompok ortodoksi acapkali ditunggangi kepentingan kekuatan politik tertentu, sebagaimana masa kekhalifahan Bani Umayyah.

Kedua, sebagai penyeimban kelompok mayoritas. Karena mayoritas seringkali kepercayaanya dianggap mapan dan tanpa cela. Tidak lagi memerlukan perbaikan dalam pemahaman keagaman. ‘Jebakan kemapanan’ inilah yang seringkali memunculkan eksklusivisme pandangan dan bermuara pada sempitnya pandangan. Ketiga, sebagai modal gerakan civil society, dimana kelompok-kelompok kecil bisa mengelola dirinya sendiri tanpa banyak bergantung pada kelompok mayoritas. Kelompok-kelompok kecil ini juga bisa dikelola jauh lebih efektif, misalnya untuk pengembangan ekonomi dan sebagainya.  Misalnya pada kasus Darul Arqom di Malaysia, yang konon mengelola unit-unit bisnis yang tidak kecil. Wallahua’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *