Film  

Kisah Kang Bahar, Preman Bandung yang Ternyata Anak Petani Garut

Dalam sinetron itu, Kang Bahar digambarkan sebagai seorang preman legendaris di Kota Bandung (foto; dok)

nuansabengkulu.com – Kita tentu tak asing dengan sosok Kang Bahar dalam sinetron “Preman Pensiun”, salah satu tayangan yang begitu digemari masyarakat Indonesia. Dalam sinetron itu, Kang Bahar digambarkan sebagai seorang preman legendaris di Kota Bandung, disegani, tegas, dan punya kharisma kuat yang membuat banyak orang menghormatinya. Namun, di balik tokoh yang terlihat garang dan berwibawa itu, siapa sangka ternyata tersimpan kisah kehidupan yang penuh perjuangan dan kesederhanaan.

Kang Bahar, dalam kehidupan nyata, digambarkan berasal dari keluarga miskin di sebuah desa kecil di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ia lahir dan tumbuh di lingkungan sederhana. Ayahnya hanyalah seorang kuli tani yang bekerja berpindah-pindah dari sawah ke sawah untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Ibunya pun bekerja keras membantu suaminya agar dapur tetap mengepul.

Sejak kecil, Bahar sudah terbiasa hidup prihatin. Meski begitu, ia dikenal sebagai anak yang ulet dan punya rasa tanggung jawab tinggi. Di sela-sela membantu orang tuanya di ladang, ia sering bermain dan belajar bersama sahabatnya, Kang Bagja, anak seorang pengusaha sukses di desanya. Meski berbeda latar belakang, keduanya bersahabat erat. Mereka kerap mengaji di surau kecil dan berlatih silat di bawah bimbingan guru kampung.

Namun, garis kehidupan mulai memisahkan keduanya ketika lulus SMA. Kang Bagja, berbekal ekonomi yang mapan, melanjutkan kuliah ke Bandung. Sementara itu, Bahar hanya bisa menatap masa depan dengan rasa ragu. Ia sadar bahwa keluarganya tidak punya cukup uang untuk membiayai kuliah. Hidupnya seperti berhenti di persimpangan.

Dalam kebingungan itu, Bahar mengambil keputusan besar yang akan mengubah nasibnya. Ia memutuskan untuk ikut Kang Bagja ke Bandung, meskipun tanpa rencana yang jelas. “Kalau tidak ikut sekarang, mungkin aku tidak akan pernah bisa keluar dari desa ini,” begitu kira-kira pikirnya saat itu.

Perjalanan menuju Bandung menjadi awal dari kisah panjang hidupnya. Sesampainya di Terminal Cicaheum, Kang Bagja melanjutkan perjalanan menuju kampus tempat ia kuliah. Sementara Bahar tetap berdiri di antara keramaian terminal, tanpa arah dan tujuan. Ia tidak punya uang, tempat tinggal, ataupun kenalan. Namun, ia punya tekad untuk bertahan.

Hari-hari pertama di Bandung tidak mudah. Bahar tidur di emperan toko, makan seadanya, bahkan kadang harus menahan lapar. Perlahan, ia mulai beradaptasi dengan kerasnya kehidupan jalanan. Ia membantu sopir angkot, mengangkat barang di terminal, hingga menjadi tukang parkir. Dunia jalanan mengajarinya banyak hal tentang kejujuran, pengkhianatan, dan cara bertahan hidup di tengah kerasnya kota.

Dalam perjalanan itu pula, Bahar mulai dikenal oleh kalangan penghuni terminal dan para preman setempat. Bukan karena kekerasan, tetapi karena keberaniannya membela yang lemah dan sikapnya yang tegas dalam menegakkan keadilan di antara sesama anak jalanan. Dari situlah perlahan nama Kang Bahar mulai diperhitungkan.

Dari anak petani miskin di Garut, Kang Bahar tumbuh menjadi sosok yang disegani di dunia jalanan Bandung. Ia tidak hanya dikenal karena kekuatannya, tetapi juga karena kebijaksanaannya. Bahkan, dalam versi sinetronnya, karakter Kang Bahar digambarkan sebagai preman yang berhati lembut, pemimpin yang tahu kapan harus keras dan kapan harus manusiawi.

Kisah hidup Kang Bahar menjadi pengingat bahwa di balik setiap sosok keras, sering kali tersimpan masa lalu yang penuh luka dan perjuangan. Dari tanah Garut yang sederhana, lahirlah seorang Bahar yang kemudian menjadi legenda jalanan Bandung, dan akhirnya ikon di layar kaca Indonesia. (Rls SRCB)