Puasa Sebagai Kritik Sosial

Dosen UIN Bengkulu, Dr. Moch Iqbal

Nuansabengkulu.com – Belakangan, wajah kapitalisme semakin menampakkan karakternya yang semakin rakus. Hampir semua ruang kehidupan manusia dikendalikan oleh norma-norma ekonomi.

Termasuk ruang religiusitas manusia. Ibadah Puasa yang sebentar lagi menghampiri umat islam jagat ini, juga tidak terhindarkan dari kapitalisasi-ekstrim yang dipelopori oleh industri media. Semua menawarkan pesona dan keindahan puasa dengan dibarengi pola konsumerisme tinggi. 

Semua jam tayang penuh dengan sajian pengajian, baca kitab suci, sinetron hingga panggung music, semua menampilkan rona pesona puasa yang agung. Seolah-olah industry media juga larut dalam ritme puasa.

Dalam waktu yang bersamaan, watak kapitalisme memperlihatkan watak aslinya yang konsumtif. Buy or Die ..! maka orang-orang-pun dengan lantang berkata I’m buying therefor I’m (saya membeli maka saya ada), sebuah parodi Akbar S Akhmeed dari ucapan Rene Descartes empat abad silam Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada).

Sebuah pilihan ekstrim. Eksistensi manusia hanya dinilai dari seberapa rakus seseorang mengkonsumsi. Maka, kultur konsumsi menjadi kultur dominan di tengah-tengah etos produksi kita yang rendah.

Komodifikasi Puasa
Peradaban kapitalisme memang lihai, selalu mempunyai cara untuk menggiring massa mengikutinya. Hampir semua perstiwa sosial-keagamaan, kapitalisme mampu menyusup dan bahkan menjadi bagian penting di dalamnya. Entah itu, puasa, lebaran, ibadah haji dan kegiatan keagamaan lainnya.

Gejala komodifikasi Islam itu juga telah berlangsung di Indonesia secara lebih intens, setidaknya dalam dasawarsa terakhir. Dan, komodifikasi Islam itu bisa dipastikan selalu mencapai puncaknya sepanjang Ramadhan. Hal ini bisa dilihat di mana-mana; dalam tayangan TV, di mal dan supermarket, dan seterusnya.

Antara lain, karena peningkatan komodifikasi Islam ini, tingkat konsumsi masyarakat meningkat tajam menjelang dan selama Ramadhan dan Idul Fitri.

Komodifikasi Islam, bila merunut pada Greg Fealy dalam artikelnya, Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia, dalam Greg Fealy & Sally White (eds), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008), mengemukakan, istilah komodifikasi berasal dari commodity, yang antara lain berarti benda komersial atau objek perdagangan.

Jadi, komodifikasi Islam adalah komersialisasi Islam atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan. Komodifikasi Islam menjadikan Islam sebagai sebuah komoditas, apalagi komersialisasi Islam boleh jadi membuat banyak kalangan umat Islam mengerutkan dahinya.

Apalagi, secara tradisional, banyak ulama menyatakan, agama tidak boleh dijadikan barang dagang untuk mendapat keuntungan dari penjualan dan perdagangan simbol-simbol agama. Bahkan, para ulama, ustadz, dan mubaligh diharapkan tidak mendapatkan nafkah–apalagi profit material–dari kegiatannya berdakwah.

Namun, apa boleh buat. Zaman sudah berubah dan komodifikasi Islam itu tidak bisa lagi dihindarkan. Mereka yang bergerak dalam bidang dakwah boleh jadi menolak istilah komodifikasi, dan sebaliknya mungkin lebih nyaman dengan istilah profesionalisasi. Profesional dalam dakwah, dan karena itu boleh saja berusaha mendapat profit dari profesi dakwah mereka.

Ironi Puasa
Sebuah pemandangan yang kontradiktif. Pesan puasa yang seharusnya sebagi media dan bentuk pengendalian dari segala keinginan konsumtif, malah yang muncul sebaliknya. Baju baru, transportasi baru, perabotan rumah baru jauh lebih penting dari pada memperbaruhi prilaku yang konsumtif dan serakah.

Maka, menjelang bulan puasa dapat dipastikan akan diiringi dengan melonjaknya harga barang-barang kebutuhan pokok. Tingkat konsumsi jauh meningkat dibandingkan dengan sebelas bulan sebelumnya. Sebuah ironi. Massa demikian liar melampiaskan hasrat konsumtifnya, yang sebenarnya bertentangan pesan utama puasa itu sendiri. Semua instruksi dan kemauan industry kapitalisme ditaati dengan tanpa penolakan sedikitpun.

Secara pelan namun pasti massa tidak lagi bisa membedakan antara keinginan (want) dan kebutuhan (need). Massa malah larut dan girang dengan gemerlap komoditi industri yang memuja image-image (fetisisme komoditi). Massa tidak lagi sibuk mencari makna puasa yang sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai moral.

Mereka larut dalam gebyar dan hiruk ramadhan. Puasa tidak lebih dari sekedar ritual kolosal tahunan dengan segala syarat dan rukunya yang tidak berimplikasi apa-apa. Memang, syiar keagamaan nampak meriah dengan berbagai sajian dan ragam acara media. Namun juga tidak banyak imbas terhadap peningkatan spiritual. Dan bahkan membuatnya menjadi dangkal karena bergerak sesuai dengan kemauan pasar.

Pesan Utama Puasa
Jauh lebih penting dari segala pernak pernik ramadhan tersebut adalah, bagaimana menemukan kembali semangat dan pesan utamanya puasa yang semakin hari semakin kabur. Kaharusan menahan makan, minum dan kumpul, dari fajar hingga terbenam matahari adalah pesan untuk lebih mengendalikan syahwat konsumtif dan pesan kerja keras untuk menaklukan.

Karena memang tidak mudah, setelah sebelas bulan sebelumnya, hampir tidak mengendalikan syahwat jasmaniah.Dengan berlapa-lapar dan dahaga, setidaknya puasa ingin memberi pesan bahwa menjadi orang kecil dan miskin secara struktur sosial, adalah berat dan tidaklah mudah. Maka mereka mutlak diperhatikan kesejahtraannya. Karena membiarkan golongan mereka sama seperti kita mendustakan Islam itu sendiri.

‘’Tahukah kamu (hai Muhammad) siapa yang mendustakan agama, yaitu orang-orang yang menghardik anak yatim dan orang-orang yang tidak memberi makan orang miskin’’ (al Ma’un). Struktur social yang cenderung eksploitatif, di mana kelompok yang kuat cenderung menindas yang kecil, membutuhkan advokasi atau pembelaan yang terus menerus.

Dari sinilah peran agama itu dibutuhkan. Dengan mampu menangkap pesan puasa tersebut, setidaknya bulan puasa tidak hanya sekedar memberi Suasana gaduh (Noise), namun mampu memberi pesan atau suara (Voice) kemanusian wajib terus kita pelihara. Wallahua’alam.

Penulis : Dr. Moch Iqbal

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *