Menakar Seberapa Efektif SEMA MA Nomor 2 Tahun 2023 Mengakhiri Polemik Nikah Beda Agama

Gedung Mahkamah Agung. dokumen

Nasional, nuansabengkulu.com – Setelah sekian tahun Mahkamah Agung (MA) melarang secara resmi pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama dan keyakinan.

Dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tertuang keputusan tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.

Yang mana SEMA ini ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan kesatuan tentang penerapan hukum antar-umat berbeda agama.

“Melalui SEMA Nomor 2 Tahun 2023, diterangkan para hakim agar berpedoman pada ketentuan yang berlaku,” Rabu (19/7/2023).
Berikut paparan isi SEMA tersebut:

  1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.

Sementara itu Guru besar ilmu hukum Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, menyambut positif terbitnya SEMA No 2 Tahun 2023 yang menegaskan spirit Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya.

“SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini cukup positif dalam rangka supremasi UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya di lingkungan lembaga peradilan,” ujar Tholabi kepada wartawan di Jakarta.

Hanya saja, menurut Wakil Rektor (Warek) Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebutkan SEMA No 2 Tahun 2023 itu bukan berarti mengakhiri praktik pernikahan beda agama. Menurut dia, ruang perkawinan beda agama masih tetap tersedia dengan keberadaan Pasal 35 huruf (a) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dilandasi spirit pemenuhan hak administrasi warga tanpa praktik diskriminatif.

“Realitas ini harus diselesaikan melalui harmonisasi antar-norma di sejumlah peraturan perundang-undangan. Jadi SEMA saja tidak cukup,” tegas Tholabi.

Editor: Bella AS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *