Komisi VI Soroti Kesenjangan Infrastruktur Program KD-KMP di Tengah Capaian Administratif yang Melonjak

Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Erma Rini. (Foto: dpr ri)

Di tengah kebutuhan masyarakat desa akan pusat ekonomi yang siap beroperasi, Komisi VI DPR menyoroti kesenjangan nyata antara percepatan pendirian Kooperasi Desa–Kelurahan Merah Putih (KD-KMP) dan kesiapan infrastruktur dasarnya. Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Erma Rini menyatakan, capaian administratif yang tinggi belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kondisi lapangan, terutama terkait pembangunan fisik dan kelengkapan administrasi aset.

Demikian hal ini disampaikannya dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR bersama Kementerian Koperasi serta Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan PT Agrinas Panhan Nusantara di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025). Dirinya mencatat, hingga 6 November 2025, KD-KMP telah mencapai 73.698 koperasi desa yang tersambung ke SEMKOPDES dan lebih dari 1,18 juta warga desa menjadi anggota. 

Ia menyebut percepatan itu “mengagumkan” mengingat program baru berjalan sekitar delapan minggu. “Ini capaian yang sangat luar biasa. Larinya kencang sekali. Kita tentu berbangga,” ujar Anggia saat membuka agenda tersebut.

Walaupun begitu, ia mengingatkan keberhasilan administratif tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam pembangunan fisik dan kesiapan lahan yang menjadi syarat utama operasional koperasi. Diketahui, dari target 20.000 titik, baru 7.458 gerai dan gudang yang masuk tahap pembangunan. Sementara 11.240 lokasi lahan telah diajukan, banyak di antaranya belum dapat dikerjakan karena persoalan validasi dan administrasi aset yang belum tuntas.

“Kami mencatat adanya kesenjangan yang harus segera diurai. Banyak lokasi belum siap bangun bukan karena fisiknya, tetapi karena persoalan administrasi aset dan validasi lahan,” terangnya. 

Ia juga menambahkan bahwa capaian angka tidak boleh berhenti di atas kertas. Selain persoalan lahan dan infrastruktur fisik, Komisi VI DPR turut menyoroti keterbatasan kapasitas pendamping di lapangan. 

Peran business assistant dan project management officer (PMO) dinilai belum sebanding dengan kebutuhan nasional. “Ini pekerjaan besar dan strategis. Mereka yang memastikan pembangunan benar-benar berjalan. Kalau jumlahnya belum memadai, aktivitas ekonomi di lapangan bisa tidak hidup,” kata Anggia.

Dirinya menyebut KD-KMP kini memasuki fase kritis, di mana keberhasilan program tidak lagi diukur dari akta pendirian koperasi, tetapi dari kesiapan operasionalnya. “Kita ingin memastikan ini bukan kooperasi administratif. Gerai harus berfungsi, gudang harus beroperasi, rantai pasok berjalan, dan masyarakat merasakan manfaat ekonomi langsung,” ujarnya.

Sebab itu, Komisi VI DPR meminta penjelasan detail mengenai percepatan pembangunan fisik, kesiapan lahan, kelengkapan administrasi aset, dan skema pembiayaan termasuk sindikasi Himbara. Pemerataan pembangunan di wilayah timur Indonesia serta integrasi ekosistem BUMN dan pemerintah daerah juga menjadi sorotan. 

Anggia juga mengingatkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menugaskan PT Agrinas Panhan Nusantara untuk memperkuat pembangunan infrastruktur, sehingga progres tersebut diminta disampaikan secara terbuka. “Kami ingin tahu sejauh mana yang sudah dikerjakan, agar tidak ada titik yang hanya siap di atas kertas. Ini bukan sekadar membangun koperasi. Ini tentang memastikan pergerakan ekonomi hidup dari desa dan benar-benar dirasakan masyarakat,” tandas Politisi Fraksi PKB itu. (rls)