Kasus penangkapan seorang bendahara desa di Kutai Timur yang diduga menggunakan dana sebesar Rp 2,1 miliar untuk bermain kripto menjadi tamparan keras bagi tata kelola keuangan desa di Indonesia. Di tengah upaya pemerintah membangun kemandirian desa melalui dana transfer pusat, tindakan ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Bendahara desa bukan hanya pejabat administratif, namun merupakan pemegang amanah keuangan publik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Setiap rupiah dana desa memiliki “nyawa hukum” karena berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dialokasikan untuk kepentingan masyarakat, bukan spekulasi pribadi.
Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 dengan jelas menegaskan bahwa pengelolaan keuangan desa harus dilakukan secara transparan, akuntabel, partisipatif, serta tertib dan disiplin anggaran. Maka, penggunaan dana publik untuk bermain aset digital yang bersifat volatil dan spekulatif jelas merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Secara normatif, perbuatan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Jika terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain, maka ancamannya adalah pidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun. Bila unsur “menyalahgunakan kewenangan” yang lebih dominan, tetap dapat dijerat dengan pidana maksimal 20 tahun penjara. Selain itu, transaksi aset kripto yang tidak terdaftar di Bappebti juga berpotensi melanggar Peraturan Bappebti No. 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Aset Kripto di Bursa Berjangka.
Kasus ini mencerminkan problem yang lebih dalam dimana rendahnya literasi keuangan digital di tingkat aparatur desa. Banyak perangkat desa tergoda oleh janji keuntungan instan dunia kripto tanpa memahami risiko ekstremnya. Padahal, uang publik tidak boleh dijadikan alat eksperimen spekulatif. Perlu disadari, blockchain dan aset digital memiliki nilai inovatif bagi ekonomi, tetapi tidak dapat dijadikan dasar investasi dengan uang negara tanpa dasar hukum yang jelas. Pemerintah pusat sebenarnya telah melarang investasi aset kripto menggunakan APBN/APBD maupun dana desa melalui berbagai surat edaran Kementerian Keuangan dan Kemendagri.
Kasus Kutai Timur seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat fungsi pengawasan internal desa dan Inspektorat Daerah. Sistem keuangan desa yang kini berbasis Siskeudes Online sebenarnya sudah memungkinkan deteksi dini, tetapi implementasinya seringkali formalitas. Diperlukan audit berkala berbasis risiko (risk-based audit) dan integrasi dengan sistem pelaporan digital antarlembaga (Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk menutup celah moral hazard.
Bendahara desa bukan hanya harus mempertanggungjawabkan secara hukum, tetapi juga secara sosial. Kepercayaan masyarakat desa adalah fondasi utama pembangunan berbasis gotong royong. Tanpa integritas, seluruh kebijakan dana desa akan kehilangan legitimasi moralnya. Kasus ini harus menjadi pelajaran nasional bahwa kemajuan teknologi finansial tidak boleh menggeser prinsip etika dan hukum publik. Modernitas tanpa integritas hanyalah bentuk baru dari penyimpangan lama.






