Sejauh ini aku tetap cinta, apapun alasannya.
Bagiku, rasa cinta tak bisa aku ungkapan dengan kata.
Mengambarkan rasa cinta hanya bisa aku perbuat dengan senyuman sapa saat kita bertemu.
Mungkin kata cinta dariku, tidak bisa engkau terima begitu saja.
Seandainya rasa cintaku ini aku tulis dalam satu buku, kamu tidak akan pernah percaya mengapa aku mencintaimu walaupun beribu-ribu halaman yang berisikan kamu.
Aku tak mengerti, mengapa engkau datang tanpa ku undang.
Aku bingung, kenapa engkau menyapaku dengan senyuman manismu itu.
Aku juga heran, mengapa saat itu engkau mau duduk makan bersamaku.
Aku pun bertanya-tanya mengapa selera kita sama, yaitu menyantap gulai udang, ikan pelus, lalapnya jengkol, rebusan terong muda dan pucuk ubi. Yang herannya lagi porsi kita sama besar.
Aku tak menyangka, kita bisa bercengkrama lalu ketawa lepas di meja bundar yang penuh dengan hidangan gulai dusun itu. Ya, bisa dikatakan jauh dari kata istimewa apalagi makanan kelas restoran.
Aku pikir dirimu itu putrinya pak Tarno, dengan mudah mengatakan “bejajulah kamu beduaw ni” Lalu menyuruh kami saling bertatapan lalu bertukaran nomor handphone.
Betapa senangnya aku hari itu, ketika di jalanan wajahnya selalu terbayang, senyumnya tak pernah hilang dari ingatan bahkan malamnya aku tak bisa tidur.
Waktu terus berganti, hari demi hari. Momentum yang kami dambakan usai janjian akhirnya kami bisa bertemu kembali di kantor camat dimana dirimu bekerja.
Engkau ajak diriku, mengelilingi kota Manna. Konon katanya, pantai itu pantai kenangan seperti julukan kota manna yaitu kota kenangan, asal jangan hubungan kita juga yang menjadi kenangan… He
Setiba di pantai, ku lihat engkau dengan gagahnya melangkahkan kaki menyayunkan tangan dengan gagahnya berdiri mengunakan sepatu hitam berhak tinggi itu, dan aku tetap disampingmu kalaupun hak sepatumu nanti patah akulah yang pertama menolongmu.
Bersambung!