Bengkulu – Pemerintah Provinsi Bengkulu telah berupaya memfasilitasi penyelesaian sengketa agraria yang melibatkan masyarakat Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Bengkulu Utara dengan perusahaan besar di wilayah tersebut, yaitu PT. Daria Dharma Pratama di Mukomuko, dan tiga perusahaan di Bengkulu Utara yakni PT Bina Bumi Sejahtera (BBS), PT Bimas Raya Sawitindo (BRS), dan PT Purna Daya Upaya (PDU) di Bengkulu Utara.
Melalui rapat yang sudah dilakukan beberapa kali, masih belum menemukan titik terang bahkan masyarakat merasa tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan karena kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing.
Asisten II Pemerintah Provinsi Bengkulu, RA Denni menyatakan bahwa pemerintah Provinsi telah menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang ada, yaitu hanya berperan sebagai fasilitator dalam konflik agraria yang melibatkan dua kabupaten.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014, kalau konflik terjadi di dalam satu kabupaten, maka kewenangannya ada di pemerintah kabupaten. Provinsi hanya memfasilitasi penyelesaian,” ujar Denni.
Ia juga menegaskan bahwa rapat yang diadakan tersebut merupakan bentuk akomodasi atas permintaan masyarakat yang merasa dirugikan oleh aktivitas perusahaan perkebunan.
“Kita mengakomodir permintaan masyarakat dan memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta perwakilan perusahaan,” tambah Denni.
Namun, hingga saat ini, baik masyarakat maupun pihak perusahaan belum mencapai kesepakatan. Masyarakat, khususnya petani yang terdampak, menuntut agar perusahaan perkebunan tersebut dibubarkan, dengan dalih bahwa masyarakat memiliki bukti kuat terkait kepemilikan lahan yang diklaim oleh perusahaan. Di sisi lain, pihak perusahaan mengklaim bahwa aktivitas mereka sah dan telah mendapatkan izin resmi dari instansi terkait, termasuk BPN.
“Perusahaan memegang aturan perizinan yang sah, sementara masyarakat memiliki bukti yang menurut mereka valid. Jika situasi ini terus didiskusikan dalam rapat, tanpa ada kejelasan hukum, tidak akan ada solusi yang bisa dicapai,” lanjut Denni.
Menghadapi hal ini, Pemerintah Provinsi Bengkulu menyarankan agar kedua belah pihak, baik masyarakat maupun perusahaan, menempuh jalur hukum untuk mendapatkan kepastian
“Yang bisa memutuskan siapa yang benar, apakah masyarakat dengan tuntutannya, atau perusahaan dengan perizinan yang dimiliki, adalah jalur hukum. Pengadilan yang akan menilai mana yang sah dan mana yang tidak,” kata Denni.
Ia berharap bahwa dengan langkah hukum, persoalan ini dapat segera diselesaikan dengan adil dan memberikan kejelasan bagi kedua belah pihak. Namun, Denni juga menekankan bahwa solusi terbaik adalah jika masyarakat dapat ikut serta dalam mengelola hasil perkebunan tersebut, sehingga tercipta kondisi saling menguntungkan.
“Kita juga masih mengharapkan kerjasama mereka yang di fasilitas oleh pemerintah kabupaten untuk mendapatkan hasil saling menguntungkan,” ujarnya.
Seperti diketahui Konflik agraria di wilayah Bengkulu kerap kali muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari masalah perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU), tumpang tindih kepemilikan lahan, hingga persoalan lahan plasma yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan masyarakat setempat.
Seperti yang beberapa waktu lalu disampaikan para Petani Tanjung Sakti, Desa Sibak Kecamatan Ipuh Kabupaten Mukomuko yang mengaku menjadi korban, dampak dari ketidakjelasan status HGU terlantar dengan pihak PT. Daria Dharma Pratama (DDP).
Masyarakat yang berkonflik dengan PT. DDP menilai Kanwil BPN Provinsi Bengkulu tidak kooperatif, karena berulang kali masyarakat meminta kejelasan status lahan HGU bermasalah dalam empat tahun berkonflik dengan perusahaan, namun sampai saat ini tidak ada penyelesaian apapun dari BPN.
Selain persoalan sengketa 72 orang petani dengan PT. DDP diatas lahan kisaran luas 400 hektar (tidak ada izin HGU), juga terdapat 45 petani yang berkonflik dengan PT. BBS (Bina Bumi Sejahtera) di Kabupaten Mukomuko diatas areal sengketa 300 hektar, Kelompok masyarakat di Kecamatan Air Napal Kabupaten Bengkulu Bengkulu Utara yang berkonflik dengan PT. BRS (Bimas Raya Sawitindo) dan Kelompok masyarakat di Kabupaten Bengkulu Utara yang berkonflik dengan PT. PDU (Purna Daya Upaya).