Jakarta – Anggota Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Maqdir Ismail mempertanyakan kepantasan Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto pada Pemilu 2024. Pertanyaan itu ditujukan Maqdir kepada Tim Hukum Prabowo-Gibran dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024.
Pernyataan Maqdir ini menanggapi ahli yang diajukan Tim Hukum Prabowo-Gibran, Abdul Khair Ramadhan. Menurutnya, Yusril Ihza Mahendra jauh lebih pantas menjadi cawapres Prabowo.
“Apakah Gibran itu lebih pantas dari Yusril untuk jadi wakil presiden?Itu kalau kita bicara kepantasan dan kepatutan, seperti yang saudara ahli katakan tadi,” kata Maqdir di Gedung MK, Jakarta, Kamis (4/4/2024).
Diketahui, Yusril saat ini merupakan tim hukum pembela Prabowo-Gibran dalam sengketa PHPU 2024. Yusril merupakan Ketua Umum PBB yang merapat mendukung Prabowo-Gibran.
Selain itu, lanjut Maqdir, pemilihan Gibran sebagai cawapres pendamping Prabowo juga menimbulkan kegaduhan. Hal itu karena Mahkamah Konstitusi (MK) harus mengubah syarat pendaftaran cawapres.
“Kenapa saya tanyakan ini kepada saudara ahli soal persyaratan terhadap Gibran? Karena keputusan itu (memilih Gibran) harus melakukan perubahan terhadap Undang-Undang,” kata Maqdir.
Aturan yang dimaksud Maqdir, yakni Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 207 tentang Pemilihan Umum. Dalam UU Pemilu itu mensyaratkan usia paling rendah untuk capres dan cawapres adalah 40 tahun.
Seorang mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru mengajukan permohonan uji materiil atas beleid tersebut. MK lalu mengabulkan sebagian permohonan itu melalui Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Sehingga, seseorang berusia di bawah 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai capres-cawapres. Meski demikian, persyaratan tersebut harus dengan catatan, pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
“Dari segi ketokohan dan pengalaman, Gibran itu Wali Kota. Sementara Prof. Yusril? Dia adalah mantan Menteri Sekretaris Negara,” ujar Maqdir.
Sebelumnya, Abdul Khair Ramadhan mengutip teori filsuf Yunani Aristoteles. Kutipan itu dilontarkannya di dalam sidang lanjutan MK soal hasil pilprea.
“Dalam kaitan ini, Aristoteles menyebutkan keadilan dalam hal penafsiran hukum, dalam penafsiran hukum harus memiliki epikeia. Suatu rasa tentang yang pantas. Kepantasan identik dengan kebenaran dan keadilan,” kata Abdul.
Menurut Abdul, pasal 475 ayat 2 UU Pemilu telah jelas merinci kewenangan MK. “Pada ayat tersebut, menggarisbawahi kewenangan MK ‘hanya’ menangani hasil Pemilu,” ujar Abdul. (tfk)