Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kondisi perekonomian global yang suram membuat resah para pengambil kebijakan di dunia. Khususnya pengambil kebijakan di bidang fiskal dan moneter seperti menteri keuangan dan para gubernur bank sentral.
“Konflik geopolitik yang belum selesai dan tingkat suku bunga di Amerika Serikat yang diperkirakan masih akan tinggi. Ini menimbulkan gejolak pasar uang dan pasar modal, arus modal keluar, dan tekanan nilai tukar,” kata Menkeu saat menyampaikan hasil pertemuan IMF, Bank Dunia dan G20 yang dihadirinya pertengahan April kemarin.
Gejolak tersebut, tambah Menkeu, terjadi bukan hanya di negara-negara ‘emerging’ dan negara berkembang, tapi juga di negara maju. Banyak negara yang kini mengalami kesulitan keuangan karena APBN-nya defisit dan rasiio utangnya makin tinggi.
“Banyak negara G20, emerging country dan developing country, situasi APBN mereka tidak baik. Defisit anggaran dan rasio utangnya tinggi karena pandemi dan berbagai kebijakan mereka,” ujar Menkeu.
Dalam pertemuan IMF, Bank Dunia dan G20, Indonesia aktif memberikan pandangan terkait reformasi di lembaga-lembaga keuangan multilateral. Seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank).
Indonesia menyuarakan agar reformasi yang dilakukan harus dapat menjawab tantangan hari ini dan ke depan. Mulai dari tantangan perubahan iklim, konflik geopolitik, dan negara-negara yang utangnya meningkat.
“Khususnya di negara emerging maupun negara berkembang yang sedang tertekan akibat biaya utang negaranya yang tinggi. Lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia harus dapat meningkatkan kapasitasnya dalam membantu pembiayaan maupun memberikan pinjaman,” ucap Sri Mulyani, mengakhiri. (er)