Nama tokoh seperti Che Guevara, pergi dari Argentina, mengobarkan revolusi ke berbagai tempat seperti Kuba, Meksiko, dan juga Afrika. Perlawanan politik diwujudkan dalam bentuk kontra kebudayaan dan budaya popular.
Peristiwa revolusi yang terjadi, menginspirasi selera bermusik dunia era 1990-an yang ditandai dengan lahirnya genre-genre musik bertema “rebelisme”.
Pada era sebelumnya, yaitu pada 1980-an, Indonesia hidup dengan damai dengan alunan musik-musik cinta nan sendu yang massif diperdengarkan.
Penguasa saat itu meninabobokan rakyat dengan ke-melankolis-an, walau pada akhirnya dunia tahu jika kedamaian itu palsu karena ditopang oleh timbunan hutang negara yang fantastis.
Pemerintah pernah secara resmi melarang pemutaran musik-musik melankolis. Melalui Menteri Penerangan, Harmoko, sadar kesehatan jiwa warganya, bahwa musik bernada melankolis dianggap bakal merusak mental generasi muda.
Musik era 1960-1970-an, juga mendapat pengaruh besar dari kondisi politik dalam negeri. Sisa-sisa eforia revolusi kemerdekaan dan pemberontakan di dalam negeri merubah dunia musik Indonesia menjadi sangat mengerikan.
Musik secara khusus, menjadi jembatan sebaran ideologi pemikiran politik tertentu yang menimbulkan perlawanan di dalam negeri. Tak ubahnya demonstrasi kelompok-kelompok penekan pemerintah pun, menyisakan sesak bagi perkembangan musik tanah air.
Romantika seperti itu, menuntun kita kepada pemahaman betapa dinamisnya musik dalam pengaruh politik yang ada. Ide, tema hingga genre atau aliran silih berganti, notabene mengikuti kehendak penguasa dan kepentingan-kepentingan pengambil kebijakan.
Lalu dimana letak kebebasan berekspresi bagi para seniman musik itu sendiri? Saat berkarya, sang seniman, bukan saja dituntut kreatif dan cermat memilih tema, namun kecenderungan arah kebijakan politik pun tetap harus diperhatikan.
Di dalam negeri, tema-tema musik rebelisme, melonjak di tengah-tengah ketidakpastian situasi politik dan pengaruh cara tindak penguasa dengan kebijakan-kebijakannya yang dinilai ganjil. Itu terjadi pasca reformasi 1998 hingga akhir 2000-an.
Penulis : Chepy Kenia Aprisof, mahasiswa S1 Jurnalistik Universitas Bengkulu.